Youth Series 2
Youth Series 3
Youth Series 4
Youth Series 6
Youth Series 7
Youth
Series 5: Moonchild 1
“Apa kita benar-benar akan melakukannya?”
Munhye
mengangkat kepala. Menghetikan kegiatan mengemas barang ke dalam koper.
Jimin
menutup pintu dibelakangnya. Melangkah mendekat pada Munhye yang berada diatas
ranjang bersama koper dan beberapa tumpuk pakaian.
“Apa
kita terlalu egois?” Munhye menatap tajam mata Jimim. Tidak ada jawaban. Hanya
senyum tipis. Senyum tipis yang manis, namun kata miris lebih pas untuk saat
ini.
Angin
berhembus, menerobos melalui jendela kamar Munhye yang terbuka. Melambaikan tirai abu-abu dan anak rambut Munhye. Di luar sana musim gugur besiap untuk
ganti giliran. Angin berhembus lebih kencang, daun-daun kering
berterbangan.Warna jingga mendominasi diantara gelap malam.
***
Semilir
angin menggerakkan helai dua hanbok yang dipakai dua wanita berbeda derajat itu.
Begitupun rumput-rumput hijau yang tumbuh diatas dan diantara makam juga ikut
bergetar. Terik matahari menyalurkan kehangatan. Suara merdu ranting-ranting
yang bertabrakan dengan angin ikut ambil bagian.
“Putri
Munhye seharusnya tidak perlu ikut kesini. Mendengar Tuan Putri mengizinkanku
mengunjungi makam ayahku saja, aku sudah sangat berterima kasih.” Seorang wanita yang terlihat lebih tua, namun
berkedudukan lebih rendah itu memulai pembicaraan.
“Aku
juga ingin mengunjungi makan ayahmu, Selir Oh.” Putri Munhye tersenyum. Senyum
tulus yang selalu memberikan kedamaian pada siapapun yang melihatnya.
Pandangan
Putri Munhye beralih pada puncak bukit. Pohon persik besar yang mulai berbunga
tumbuh kokoh disana. Namun bukan itu yang menarik perhatian Putri Munhye,
melainkan seorang pria yang bersandar dibawah pohon persik dengan menutup mata.
“Siapa itu, Selir Oh?”
Selir
Oh mengikuti arah pandang Putri. Seulas senyum tersungging sesaat. “Dia, putra
panglima perang, Park Jimin.”
***
Selembar
daun anggur kering terlepas dari rantingnya. Melayang-layang, lalu terhempas di
tanah. Pohon anggur yang merambat pada tembok tua itu kini menyisakan empat
lembar daun tua.
Munhye
mengerjapkan mata. Duduk bersila menghadap jendela mebuat matanya kering karena
terus menerus dihempas angin. Dia menghela nafas, sejenak menenangkan pikiran.
Lalu berbalik untuk melihat Jimin yang berkutat didepan meja.
Jimin
melipat kertas yang baru saja dia tulis isinya. Melipat serapi yang dia bisa.
“Menurutmu bagaimana perasaan Omma, setelah membaca surat ini?” Jimin menoleh
pada Munhye.
“Entahlah.
Aku justru berfikir betapa marahnya dia setelah mengetahui apa yang terjadi
pada kita.” Munhye berbalik lagi kearah jendela. Empat lembar daun anggur itu
masih disana, bergerak-gerak ketika bertemu dengan angin.
Jimin
meletakkan surat diatas meja, lalu menindih ujungnya dengan vas bunga. “Marah?
Ku pikir dia akan menangis.” Jimin bangkit dari duduknya. Berdiri disamping
ranjang. Ikut melihat daun anggur yang terombang-ambing angin. “Kita anak
durhaka.”
Angin
kencang berhembus. Empat lembar daun anggur itu bergetar cepat. Satu lembar
yang paling lebar mengalah. Ia terhempas jauh, lalu membaur dengan daun-daun
kering lain diatas tanah.
***
Angin
malam berhembus. Dengan tangan yang membawa sebuah lentera dan mengangkat
hanboknya, Putri Munhye berlari keatas bukit.
Dia
terengah-engah setelah tiba dipuncak. Namun kemudian dia tersenyum setelah
melihat Park Jimin memetik buah persik, dari samar-samar cahaya lenteranya.
“Seorang
Putri tidak seharusnya menyusup keluar dari istana hanya untuk menemui rakyat
biasa sepertiku.” Jimin berbalik, dengan satu buah persik matang sempurna
ditangannya.
“Kemarin
kau juga menyusup keistana untuk menemuiku. Oh, Ayolah... Kau berkata seperti
akulah yang begitu menyukaimu.” Putri Munhye meletakkan lenteranya.
“Bukankah
itu memang benar? Bukankah kau langsung mencintaiku saat kau pertama kali
melihatku tertidur dibawah pohon persik ini?” Jimin berjalan mendekati Putri
Munhye, lalu duduk disampingnya.
Putri
Munhye tertawa tanpa menghilangkan aura keanggunannya. “Kau terlalu percaya
diri. Kau kira kau siapa?”
“Aku?”
Jimin melempar dan menangkap buah persik beberapa kali. “Aku putra panglima
perang Goryo, Park Jimin. Pria yang dicintai Putri Munhye.” Jimin tertawa
kecil. Merasa bangga pada kalimat yang baru saja diucapkannya.
Putri
Munhye ikut tertawa. Tawa itu meninggalkan rona merah alami pada pipinya.
“Kau
tidak duduk?” Jimin masih memainkan buah persik itu dengan melempar dan
menangkapnya.
“Tidak.”
Putri Munhye menunduk melihat Jimin.
“Kau
takut pakaianmu kotor?” Jimin berhenti memainkan buah persik. Dia mendongak
untuk melihat wajah Putri Munhye. Disinari sorot cahaya rembulan, bagi Jimin, wajah Putri
Munhye tampak seperti malaikat yang sedang menyamar.
“Tidak.
Hanya agar kau tahu kedudukanku.” Putri Munhye memalingkan wajahnya.
Menyembunyikan senyum miris pada gelap malam.
***
Tiga
lembar daun anggur masih bertahan. Sedangkan angin masih terus berhembus,
membuat seorang gadis pejalan kaki itu
mendekap tubuhnya sendiri.
Jimin
memeluk Munhye dari belakang. Dia tidak membiarkan Munghye kedinginan seperti
gadis pejalan kaki itu. Munhye menoleh. Jimin meletakkan dagunya pada bahu
Munhye. Munhye mengecup singkat bibir Jimin, lalu meluruskan pandangan lagi
dengan pohon anggur yang merambat pada tembok tua.
“Kita
bisa batalkan ini jika kau mau.” Jimin membelai rambut Munhye.
“Tidak.”
“Biar
aku saja yang pergi. Kau tetap disini, dengan begitu kau bisa melupakanku.”
Jimin masih membelai rambut Munhye. Kali ini dibantu oleh angin yang berhembus
menerobos jendela.
“Apa
kau percaya pada akhirat?” Munhye meraih tangan Jimin yang membelai rambutnya.
“Jika akhirat benar-benar ada, aku pasti
akan disiksa disana karena mencintai kakakku sendiri.” Dia menggenggam tangan
Jimin lebih erat. “Jadi Oppa, hanya didunia ini kita bisa hidup bahagia
bersama. Jangan sia-siakan kesempatan ini.”
“Tapi
jika kita lanjutkan, kita harus mempertanggung jawabkan hal yang lebih berat
nantinya diakhirat.” Jimin membalas genggaman tangan Munhye.
“Kita
sudah melakukan ‘nya’, Oppa. Apa menurutmu itu bukan hal yang berat?”
Angin
kencang berhembus lagi. Tiga lembar daun anggur itu bersiap untuk kehilangan
salah satu dari mereka. Daun yang paling jingga bergerak lebih kencang dari
yang lain. Angin kencang berlalu. Daun paling jingga terpisah dari
teman-temannya. Dia melayang-layang diudara untuk beberapa saat, hingga
akhirnya tergeletak begitu saja ditanah.
***
Bunyi
gong menggema. Putri Munhye berlari. Kedua tangannya mengangkat hanbok yang
menyulitkan langkahnya. Tidak ada yang dipikirkannya kecuali berlari dan terus
berlari. Bukan hanya sekali dua kali dia tersandung langkahnya sendiri.
Nafasnya semakin terengah-engah ketika dia tiba di kuil. Bukannya memperlambat langkahnya,
dia masih saja berlari hingga memasuki bagian dalam kuil. Dia berlari menaiki
tangga didalam kuil dengan sekuat tenaga. Hingga akhirnya dia tiba di balkon
kuil. Dari sana, dia dapat melihat beberapa tempat di istana.
Putri
Munhye bersimpuh. Tidak terhitung berapa tetes air mata yang jatuh dari
matanya. Dia meraung. Menangis seperti serigala. Jari-jari tangannya mencakar
hanbok lalu memerasnya. Menyalurkan emosi yang meluap dari dalam dadanya.
Dibawah sana, suatu tempat di istana yang
dapat dijangkau oleh pandangan jika kau berada di balkon kuil. Ditempat itu,
seseorang terayun-ayun dengan seutas tali di lehernya. Bercak kemerahan menjadi
motif pakaian putih orang itu. Disana, di tempat eksekusi, Park Jimin telah
kehilangan nyawa.
***
Pohon
anggur yang merambat pada tembok tua menyisakan dua lembar daun. Dua lembar
daun anggur itu masih tetap tegar diterpa angin. Namun, semakin malam angin
menjadi semakin angkuh. Dia berhembus semakin kencang, membiarkan selembar daun
anggur terjatuh. Meninggalkan temannya gemetar sendirian.
Jimin
mengetuk dua kali pintu kamar Munhye. Dengan setelan yang menunjukkan bahwa dia
akan berpergian, Jimin meletakkan tangannya pada pegangan koper. “Aku tunggu di
luar.” Dia berbalik setelah mengatakannya, lalu melangkah pergi dan menarik
kopernya.
Munhye
pun sudah bersiap. Dia melangkah menuju pintu sambil menarik koper miliknya.
Diambang pintu, munhye berbalik. Sesaat mengamati kamar bernuansa putih itu
untuk yang terakhir kali, setelah ia tiduri selama bertahun-tahun. Munhye
melanjutkan langkahnya, Dan pintu itu akhirnya tertutup.
Sekali
lagi, angin bertiup kencang. Selembar daun anggur yang bersikukuh bertahan
ditempatnya berakhir terguncang. Dia tersapu oleh angin bersama daun-daun
jingga lainnya. Membiarkan Pohon anggur yang merambat pada tembok tua itu
menjadi hampa.
***
Selir
Oh menghampiri Putri Munhye yang duduk diatas ranjang. Dia membawa nampan
berisi secangkir teh untuk Putri Munhye. Tangan Selir Oh bergetar ketika
menyuguhkan teh pada Putri Munhye. Tapi Putri Muhye hanya tersenyum dan
mengambil cangkir terh itu. “Maafkan aku telah menyusahkanmu, Selir Oh.” Suara
lembut Putri Munhye semakin membuat Selir Oh gemetar.
Selir
Oh mengangkat kepala. Untuk pertama kalinya dia menatap dalam mata Putri
Munhye. “Apapun akan aku lakukan untuk kebahagiaanmu, Putri.” Butiran air satu
persatu menetes dari mata wanita paruh baya itu. “Tapi pastikan kau akan
mencari Park Jimin di kehidupan selanjutnya.”
Putri
Munhye sekali lagi menunjukkan senyum tulusnya, lalu menenggak habis teh dalam
cangkir. Tidak butuh waktu lama, hanya berselang beberapa detik kemudian, tubuh
Putri Munhye lemas dan dia menghembuskan nafas berat. Dia terbatuk, seketika
cairan merah kental menyembur dari mulutnya. Wajahnya perlahan memucat dan
nafasnya semakin berat. Beberapa kali dia menjerit kesakitan. Hingga pada
akhirnya nyawa itu benar-benar terpisah dari tubuhnya.
***
“Oppa,
apa kau percaya reinkarnasi?”
Jimin
mengalihkan pandangannya dari kaca pesawat. “Jika reinkarnasi benar-benar ada,
mungkin di kehidupan sebelumnya kita sepasang kekasih.”
“Jika
reinkarnasi benar-benar ada, aku akan berdoa agar kita tidak dipertemukan di
kehidupan selanjutnya.” Munhye sejenak menyamankan duduknya dikursi pesawat.
“Untuk apa dipertemukan jika tidak diperbolehkan bersama?”
Sekilas
senyum terulas dibibir penuh Jimin. “Kata mereka, sebanyak apa pun kita
dihidupkan kembali, kita akan tetap menanggung perbuatan kita nantinya
diakhirat. Ku rasa jika di kehiduan selanjutnya kita di pertemukan lagi, kita
akan membuat lebih banyak dosa untuk dipertanggung jawabkan diakhirat.”
Munhye
menoleh kearah Jimin. “Jadi kau setuju denganku?”
Jimin
mengedikkan bahu. “Mungkin, ya.”
“Kau
juga setuju untuk tidak menyia-nyiakan kehidupan kita saat ini untuk hidup
bersama?” Munhye mendekatkan kepalanya pada Jimin, menyelidik jawaban apa yang
akan diberikan kakaknya.
Dan
Jimin mengangguk.
***
“Jumlah korban yang diketahui
identitasnya bertambah dua orang. Mereka adalah kakak beradik, Park Jimin dan
Park Munhye. Mereka akan...”
Biip..
Gadis
itu mematikan TV, membiarkan laporan pembawa acara itu terpotong. Gadis itu
tersenyum masam. Park Jimin dan Park Munhye, sepasang kakak beradik yang
tinggal di ujung gang. kemarin malam, gadis itu berjalan kaki melewati gang. Dia
melihat kakak beradik ini berpelukan didepan jendela. Dan sekarang, mereka
dilaporkan menjadi korban jiwa kecelakaan pesawat.
Gadis
itu mengulangi senyum masamnya. Dia menyambar jaket, lalu berjalan keluar
rumah. Merasa sedikit kecewa, karena pemandangan kakak beradik yang berpelukan
mesra akan digantikan oleh hiruk pikuk rumah duka.
-FIN-
Maaf kalau bagian akhirnya mengecewakan kalian. Tapi dari akhir yang mengecewakan ini, aku harap kalian dapat mengambil hikmahnya. Soalnya Lotus sudah mempersiapkan sebuah pesan untuk kalian dari cerita yang mengecewakan ini. Terimakasih, Youth Series 6 is here! :)
0 komentar:
Posting Komentar