Senin, 11 September 2017

Youth Series 7 : Save (FF Oneshoot BTS Jungkook)






Youth Series 7: Save


13 Februari 2017
Langit tampak kusam. Salju turun. Seoul, abu-abu. Orang-orang mengeratkan jaket tebal yang membungkus tubuh mereka tanpa menghentikan langkah. Mobil berjalan lebih pelan dan hati-hati. Salju-salju kusam berserakan di tepi jalan, terlantar, sama sekali tidak ada yang menghiraukan.
            Seorang laki-laki yang berada di atap gedung itu menghisap rokoknya kuat, lalu melemparkannya. Bersamaan dengan putung rokok yang padam terkena tumpukan salju, pria itu menghembuskan asap putih dari mulut dan hidungnya.
            Tangan pria itu mengangkat senapan. Mengarahkannya ke bawah gedung. Membidik objek. Gadis dengan jaket shocking pink yang berlari menyebrangi jalan itu lah objeknya. Ujung senapan pria itu bergerak searah dengan perpindahan gadis jaket shocking pink. Dan, Doorrr!!! Pria itu ambruk. Senapan jatuh disampingnya. Darah merembes dari belakang kepala pria itu, menggenang, dan bercampur dengan salju. Beberapa meter darinya, berdiri seorang pria lain yang terlihat lebih muda, memegang pistol dengan gemetar. Gigi atas dan bawahnya saling bertabrakan berulang kali dengan cepat. Rahangnya mengeras. Dia menggigil.
***
14 Februari 2017
            “Kita harus segera mencari pelakunya,...”
            Tiga detektif kepolisian itu berkumpul diruangannya. Mereka duduk berjajar didepan sebuah meja yang penuh dengan dokumen-dokumen berserakan, beberapa bungkus ramyeon dan tiga botol kosong air mineral.
            “... dia lebih berbahaya dari pemimpin pembunuh bayaran.” Seorang pria berusia 30-an, yang duduk ditengah melanjutkan kalimatnya. Dia menoleh ke kanan, seorang pria tampan 23 tahun itu mengangguk, namun dari sorot matanya mengisyaratkan jika dia sedang berpikir lebih jauh. Lalu pria 30-an itu menoleh kekiri. Ia menghela nafas kesal mendapati seorang gadis yang seusia dengan pria kanan, menggeletakkan kepala pada sandaran kursi dan menutup mata, tidak memberikan reaksi apapun pada tolehan dramatisnya. “Hyaa!! Detektif Nam Seohyun!!”
            Ye! Kepala Kim!” Seohyun tergagap mendengar teriakan atasannya dan segera menegakkan duduknya.
            Pria yang berada di kanan Kepala Kim terkekeh.
            “Oh Sehun, siapa yang menyuruhmu tertawa!” Kepala Kim menoleh ke kanan, dan berganti meneriaki Sehun.
            Jeosonghabnida...” Sehun menunduk dan meminta maaf setengah hati.
            “Okey! Sekarang mari kita kembali serius!” Kepala Kim mengetuk meja beberapa kali. “Kalian tahu, Kwon Jiyong, -pemimpin kelompok pembunuh bayaran tersebut- sudah menjadi buronan bertahun-tahun. Dan secara tiba-tiba dia datang dengan sendirinya dalam keadaan tak bernyawa.” Dia menghela nafas, memberi jeda pada kalimatnya. “Tidak ada sidik jari siapapun pada pistol itu, kecuali sidik jari Kwon Jiyong sendiri. Juga tidak ada CCTV diatap gedung, atau bukti-bukti lain. Apakah mungkin Kwon Jiyong membunuh dirinya sendiri?”
            “Ku rasa Kwon Jiyong bukanlah tipe orang yang dengan mudah bunuh diri.” Sehun berasumsi.
            “Bagaimana jika pelakunya adalah anak buahnya sendiri?” Seohyun mulai mengajukan pendapat.
            Kepala Kim mengangguk beberapa kali, lalu memberi kesimpulan pada opini Seohyun. “Jika benar begitu, dia akan menjadi pemimpin baru, dan kelompok pembunuh bayaran itu akan lebih berbahaya dari sebelumnya.”
***
11 Juli 2017
22.00 PM

            Tingtung... Tingtung... Tingtung...
            Bel apartemen itu berbnyi berulang kali. Seorang gadis yang berada di dalamnya berjalan menuju pintu.
            “Chaerin-ah! Jangan buka pintunya!” Seorang pria menarik lengan gadis yang dipanggil Chaerin itu.
            We?” Chaerin mengerutkan dahi.
            “Aku sudah melihatnya. Dia orang asing yang menyamar sebagai pengantar makanan cepat saji. Aku bahkan sama sekali tidak memesan makanan cepat saji. Jangan membuka pintu untuk orang asing, Chaerin-ah!”
            “Apa aku harus berkenalan dengan semua pengantar makanan cepat saji agar mereka tidak menjadi orang asing?” Chaerin mengedikkan bahu. “Aku yang memesannya, Jungkook-ah. Kenapa kau ini?” Chaerin melepaskan lengannya dari genggaman Jungkook lalu berjalan menuju pintu.
            Setelah bertransaksi dengan pengantar makanan cepat saji, Chaerin menutup pintu dan menghampiri Jungkook yang sekarang bermain PSP di ruang tengah. Chaerin membuka kotak pizza ditangannya, mengambil satu potong, lalu duduk disamping Jungkook.
            “Apa kau sudah membunuh seseorang, Jagi?” Tanya Chaerin dengan mulut penuh pizza.
            Jungkook menoleh. Dia menatap Chaerin tajam. “Apa maksudmu?”
            “Maksudku, apa kau berhasil mengalahkan lawanmu yang ada di PSP itu?” Chaerin kembali menyumpalkan potongan pizza kedalam mulutnya. “Apa yang kau pikirkan? Kau bertingkah seperti benar-benar seorang pembunuh saja.”
            “Tutup mulutmu Chaerin-ah!!” Jungkook berteriak. Dia membanting stick PSP, lalu beranjak pergi.
            We? Kenapa aku harus menutup mulutku? Aku sedang makan, bagaimana bisa aku makan kalau menutup mulut?” Gerutu Chaerin tidak jelas, karena mulutnya penuh oleh pizza. “Kenapa kau ini? Apa kau benar-benar membunuh seseorang dengan jurus-jurus Taekwondo-mu itu? Aishh... Jinja! Beraninya dia membentakku? Dia bahkan seharusnya memanggilku Nuna.”
            Braakk!! Jungkook membanting pintu kamarnya.
            Chaerin mendengus kesal sebagai balasannya. “Kenapa aku harus berpacaran dengan anak-anak?” Dia menjejalkan sisa potongan pizza ditangannya kedalam mulut, meletakkan kotak pizza itu diatas meja, lalu berjalan menyusul Jungkook.
            Chaerin membuka pintu kamar Jungkook. Hatinya yang semula dongkol menjadi luluh setelah mendapati gulungan selimut putih di sisi ranjang Jungkook. Kebiasaan yang selalu dilakukan Jungkook saat dia merasa gelisah –Menggulung dirinya didalam selimut. Chaerin menghampirinya. Dia duduk disamping gulungan selimut berisi Jungkook itu. Mengelus tubuh Jungkook dari balik selimut, lalu menciuminya. Gulungan itu bergerak, tapi gerakannya terhenti karena terhalang oleh keberadaan Chaerin. Chaerin kemudian menggeser tubuhnya dan turun dari ranjang. Gulungan itu menggelinding kesisi lain ranjang. Gulungan itu terbuka sejalan dengan gelindingannya, dan sekarang isi gulungan itu terlihat.
Jungkook kemudian duduk dengan lesu dan menekuk mukanya. Chaerin duduk lagi disamping Jungkook. Tangannya merangkul pinggang Jungkook dan kepalanya disandarkan dibahu lebar pacarnya.
“Kau kenapa? Apa ada masalah di tempat latihanmu?” Tanya Chaerin lembut.
“Tidak.”
“Apa kau memikirkan pertandinganmu minggu depan, hmm?” Chaerin kembali bertanya lembut, lalu mengecup pipi Jungkook.
“Tidak.” Jungkook masih saja bergeming.
“Ceritalah padaku kalau kau ada masalah, euh? Kau tahu, masalah itu akan sedikit berkurang jika kau menceritakannya.” Kali ini kalimat lembut Chaerin disertai dengan elusan tangannya di dada bidang Jungkook.
Jungkook meraih tangan Chaerin yang meraba-raba dadanya. Menggenggam tangan berjari lentik itu, lalu menciumnya. “Aku hanya kelelahan. Ku rasa aku harus tidur.” Jungkook melepaskan satu tangan Chaerin yang masih melingkar di pinggangnya. Lalu menata dirinya diatas ranjang, bersiap tidur.
“Kalau begitu, aku akan menemanimu.” Kata Chaerin antusias. Kemudian merebahkan tubuhnya diatas ranjang menghadap punggung Jungkook yang membelakanginya.
Detak jarum jam terdengar. Nafas teratur keduanya ambil andil. Pendingin ruangan unjuk gigi, membuat Chaerin mengeratkan selimut pada tubuhnya. Perlahan matanya tertutup, namun pergerakan yang dibuat Jungkook membuatnya kembali terbuka.
Jungkook berbalik, “Jagi-ya, Kau ingat tragedi pembunuhan tanggal 13 Februari?” Tanya Jungkook dengan suara berat.
“Euh, We?
“Di hari itu juga, seseorang ingin membunuh Jieun.”
“Kau bilang, Jieun meninggal karena sakit jantung.” Chaerin memutar bola mata. Gadis bernama Jieun itu selalu bisa membuat Chaerin cemburu. Dia terus saja berkeliaran di otak Jungkook, meskipun sudah tidak hidup di dunia lagi. Jika akhirat benar-benar ada, Chaerin akan mencari dan mencakar-cakar gadis itu di akhirat kelak. Kalau Tuhan mengizinkan.
“Ya, tiga hari setelah itu, dia meninggal karena sakit jantung.” Jungkook mengerjapkan mata, “...Katanya.”
“Lalu?” Chaerin menghela nafas. Antara prihatin dan cemburu, Chaerin tidak bisa memilihnya.
“Aku hanya ingin bertanya, apa kau tidak penasaran siapa pelaku pembunuhan tanggal 13 Februari?” Suara Jungkook kembali berat.
“Ku dengar, pelakunya belum diketahui. Ada yang bilang juga, jika dia bunuh diri, orang yang mati itu. Tapi sebenarnya, aku tidak begitu perduli dengan berita itu. Ku rasa tidak ada hubungannya denganku, dengan kita.” Chaerin menjadi lebih bersemangat menanggapi Jungkook setelah dia tidak lagi membicarakan Jieun.
“Kalau pelakunya aku, apa kau masih tidak perduli?”
“Apa?” Chaerin terkejut. Tapi itu hanya berlangsung lima detik. Setelah itu dia terkekeh.
“Tadi kau bertanya apa masalahku. Itulah masalahku, Jagi-ya.” Ekspresi yang berlawanan ditunjukkan oleh Jungkook. Serius, sendu, menakutkan.
“Hmm?” Chaerin pun kini merubah ekspresinya.
“Aku pelakunya, Jagi-ya.” Suara berat Jungkook kini berubah serak.
“Apa sekarang aku harus mempercayaimu?” Chaerin bertanya, takut-takut jika Jungkook sekarang sedang mempermainkannya.
“Aku takut, Jagi-ya.” Bahu Jungkook berguncang. Matanya berair. Dia tidak sedang mempermainkan Chaerin. “Orang itu pembunuh, Jagi-ya, aku takut jika temannya mencari dan balas dendam padaku. Aku juga takut jika polisi menemukanku, bagaimanapun aku sudah membunuh orang. Aku takut Jagi, tolong selamatkan aku.” Airmata Jungkook bahkan sudah membasahi bantal. Nafasnya tersenggal-senggal karena isakan. Tangannya menggenggam erat kedua tangan Chaerin, berharap kekuatan akan mengalir dari sana.
“Jungkook-ah...” Chaerin melepaskan satu tangannya dari genggaman Jungkook, lalu mengelus rambut Jungkook lembut. “Bagaimana bisa?” Bahkan tangan Chaerin sekarang ikut gemetar.
Jungkook hanya membalas kebingungan Chaerin dengan isakan yang lebih keras.
Chaerin menenggelamkan kepala Jungkook dalam dekapan. Meredam isakannya. Chaerin sama sekali tidak tahu apa yang harus dia katakan. “Tenanglah, semua akan baik-baik saja...” Akhirnya kalimat klise itulah yang keluar dari mulutnya.
***
02.00 AM
Jungkook mengeratkan selimut, lalu memiringkan tubuh. Tangannya meraba-raba, kencari keberadaan Chaerin. Matanya mengerjap beberapa kali. Dia tidak menemukan keberadaan Chaerin setelah matanya benar-benar terbuka. Tidak pula pakaian Chaerin. Hanya ada celana dalam, kaus putih dan celana pendek yang tergeletak sebarangan dilantai. Jungkook bangun. Selimutnya tersingkap, menampakkan setengah bagian tubuh sexy Jungkook yang tanpa busana. Jungkook mengucek matanya yang bengkak karena menangis semalam. Kemudian beranjak dari ranjang, memunguti pakaian dan memakainya. Dia sedikit terhuyung ketika memulai langkahnya mencari keberadaan Chaerin.
Jungkook samar-samar mendengar suara Chaerin dari dapur. Dia sedang menelpon. Jungkook mengikuti nalurinya untuk mendengar percakapan Chaerin. Dia melangkah hati-hati menuju dapur agar tidak menimbulkan suara. Suara Chaerin yang semula samar-samar kini semakin jelas.
“Ya, kita bisa melakukannya sekarang.” Kata Chaerin pada orang diujung telepon.
Jungkook terus melangkah hati-hati menuju pantry. Mencari posisi yang pas untuk menguping pembicaraan pacarnya. Karena Chaerin membelakanginya, itu memudahkan untuk tidak ketahuan menguping.
“Kita sudah mendapatkan buktinya, tunggu apa lagi?” Chaerin mengetuk-ngetuk kran cuci piring yang ada dihadapannya. “Ye! Kepala Kim! Aku yakin!” Pelan, namun suara Chaerin terdengar tegas. “Ya! Kita bisa melakukannya sekarang!” Chaerin berbalik, “Jagi-ya...”  suaranya berubah menjadi manja setelah mendapati Jungkook sedang menatapnya tajam. “Sejak kapan kau disitu?” Chaerin melangkah mendekati Jungkook.
Jungkook mundur. Menabrakkan tubuhnya dengan pantry. “Siapa kau?” Tangannya meraih pisau yang tergeletak di pantry. Menggenggamnya erat, dia berlari dengan merahkan pisau pada Chaerin.
Chaerin menunduk, menghindari serangan Jungkook. Dia mendorong perut Jungkook hingga tergeletak dilantai. Lalu menginjak-injak tangan Jungkook yang memegang pisau hingga terlepas, dan menendang pisau itu ager jauh dari Jangkauan.
Jungkook tidak tinggal diam, dia menarik kaki Chaerin. Chaerin terjatuh. Begitupun Handphone digenggamannya berserakan menjadi beberapa bagian. Jungkook menendang wajah Chaerin, meninggalkan memar di pipi kirinya.
Chaerin segera berdiri dan mendorong Jungkook hingga dia kembali tergeletak dilantai. Kali ini Chaerin menduduuki tubuh Jungkook, lalu memberi pukulan bertubi-tubi pada wajah Jungkook. Memar dan darah yang mengalir dari sudut bibir Jungkook, sama sekali tidak menghentikan pukulan Chaerin.
Jungkook memegang erat bahu Chaerin, mengembalikan kekuatan. Lalu mendorongnya hingga punggung Chaerin terbentur pinggiran tempat cuci piring. Jungkook kembali meraih bahu Chaerin, mendorongnya lagi hingga dia dan Chaerin berdiri tegak. Dia membentur-benturkan kepala Chaerin pada lemari es disamping tempat cuci piring. Jungkook terus membentur-benturkan kepala Chaerin tanpa ampun. Chaerin meringis, darah mengalir dari pelipisnya.
Tangan Chaerin meraih piring kotor dari tenpat cuci piring, dan melemparkannya kewajah Jungkook.
Jungkook mundur beberapa langkah dengan terhuyung. Wajahnya tergores pecahan piring di beberapa tempat. Darah pun mengalir dari pipi, kening dan bawah mata kanannya.
Chaerin menggunakan kesempaatan ini untuk membuka lemari piring, mengambil pistol yang disembunyikannya disana. Dia mengarahkan pistol pada Jungkook. Jungkook mengangkat tangan dan mundur. Chaerin berjalan perlahan mendekatai Jungkook. Langkah mundur Jungkook berhenti ketika dia menabrak pantry. Dia tersudut.
“Menyerahlah Jagi, kau sudah kalah.” Ujung bibir Chaerin yang berdarah melengkung menunjukkan senyum.
Tangan kanan Jungkook yang terangkat menurun. Dia mencoba meraih vas bunga di atas pantry. Iris mata Chaerin mengikuti pergerakan tangan Jungkook. Dan, Plaakk!! Kaki Jungkook menendang tangan Chaerin. Pistol terlepas dari genggamannya. Sebelum pistol itu sempat menyentuh lantai, Jungkook berhasil menangkapnya. Dan dengan sigap dia merarik lengan Chaerin.
“Angkat tangan! Kau sudah dikepung!” Sekelompok orang berpistol sekarang berada di depan pintu dapur. Suara sirine meraung-raung dan saling bersautan dari luar gedung.
“Seohyun-sshi!” Sesorang yang paling tampan dan paling muda dari yang lainnya beriak dan membelalakkan mata melihat keadaan rekannya.
Jungkook mendekap bahu Chaerin dari belakang, dengan satu tangannya menempelkan ujung pistol di kepala Chaerin. Tidak ada tanggapan apapun yang diberikan Jungkook. Selain sunggingan singkat senyum sinisnya.
“Kepala Kim, tolong selamatkan aku...” Chaerin, atau yang sebenarnya adalah Seohyun, memohon. Dia gemetar. Airmata menetes dari sudut matanya.
“Bunuh saja dia kalau kau mau!” Seorang berpistol yang berada dalam barisan paling depan, berkata dengan santai.
“Kepala Kim...” Suara Seohyun memelas penuh permohonan.
Ujung jari telunjuk Jungkook bergerak. Perlahan dia menarik pelatuk pistol. Dan, dia menjauhkan lagi jari telunjukknya dari ujung pistol, memberikan kesempatan Chaerin untuk mengambil beberapa tarikan nafas. Sekelompok orang itu sama sekali tidak bergeming. Kecuali satu yang paling muda dan tampan, dia gemetar.
Anyeong, Jagi-ya...” Jungkook kembali menempelkan ujung jari telunjuknya pada pelatuk pistol...
Doorrr!!!
Bruukk!!
Jungkook ambruk. Pistolnya jatuh. Darah merembes dari belakang kepala Jungkook. Mengalir dan menggenang di sekitarnya.
 “Siapa yang menembaknya! Siapa yang menembaknya!” Kepala Kim berteriak marah. Sedangkan yang lainnya hanya saling menoleh, dan memberi isyarat bawa bukan mereka yang melakukannya. “Hyaa!! Brengsek!” Kepala Kim mengumpat, melampiaskan emosi.
Seohyun berbalik. Ikut ambruk disamping Jungkook dengan bertumpu pada lutut. Dia menekan telapak tangannya pada belakang kepala Jungkook, untuk menahan darah yang keluar. Sia-sia, Seohyun tahu itu.
“Jagi-ya...” Satu tangannya Seohyun meraba dada bidang Jungkook, mencari detakan yang selalu dia temukan ketika dia merabanya. Tapi nihil, dia justru hanya meninggalkan bercak darah pada kaus putih Jungkook. Tubuh Seohyun gemetar. lebih gemetar daripada saat nyawanya berada di ujung tanduk. Dia merasa engap. Dia tidak mendenar suara apapun kecuali isakannya, seolah mereka berdua berasa dalam sebuah kotak kedap suara. Dada Seohyun sesak. Dia merasakan sesuatu yang teramat sakit didalam tubuhnya. Merasa seperti satu organ dalam tubuhnya dicabut secara paksa. Dia memeluk kepala Jungkook dalam dekapannya. Tangan dan pakaiannya berlumuran darah. Sedangkan darah dari belakang kepala Jungkook sendiri masih terus mengalir.
“Jungkook-ah, semua akan baik-baik saja.” Bohong. Semua orang tahu itu.

-FIN-




Akhirnya, Youth Series kelar juga. Maaf kalo mengecewakan. Jujur Lotus sendiri kecewa sih, sama Youth Series yang terakhir ini. Tapi ya sudahlah, semoga habis ini Lotus bisa bikin genre action dengan lebih baik lagi. Thanks buat temen-temen yang udah baca Youth Series! di tunggu project selanjutnya ya!
 

Lotus Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang