Youth Series 1
Youth Series 2
Youth Series 4
Youth Series 5
Youth Series 6
Youth Series 7
Cerita ini terinspirasi dari 'About The Girl Who Dressed in Black', milik akun wattpad @prohngs. Kalau kalian udah pernah baca, anggap aja yang ini versi koreanya.
Youth
Series 3: Untittled 2
Hanya
butuh setitik warna untuk menghidupkan yang kelam...
Mentari
hangat di musim semi menyambut. Memaksaku bahagia dengan rutinitas baruku. Bau
semerbak bunga menyeruak masuk indra penciuman. Tanganku meraih selembar kertas
berisi tulisan tangan ayahku di atas meja kayu. Baiklah, apa yang harus ku
lakukan pertama-tama. ‘Mengantarkan
seikat bunga bugunghwa pada Pak Bang, Bangtan Kafe. ( 3 hari sekali)’...
Apa-apaan
ini? Orang macam apa yang memesan bunga bugunghwa setiap 3 hari sekali? Apa dia
benar-benar berjiwa nasionalis?
Aku
beranjak untuk menyiapkan bunga-bunga yang harus kuantar pagi ini. Aku mengambil
beberapa macam warna bungga bugunghwa, dan mengemasnya sebisaku. Lalu
kulanjutkan dengan beberapa bunga krisan putih, cherry blossom, dan blue
salvia.
Setelah
beberapa kali aku menstarter motorku, akhirnya dia mau menyala. Aku menoleh
memastikan keberadaan bunga-bunga di keranjang motorku. Ku hela nafas panjang
sebelum aku menjalankannya. Meyakinkan diriku sendiri, jika mengelola florist
meneruskan ayahku bukanlah hal yang begitu buruk.
***
Aku
memasuki Bangtan Kafe dengan kikuk. Ini masih setengah tujuh pagi, tapi
beberapa meja di Bangtan Kafe sudah terisi. Beberapa karyawan kafe
berlalu-lalang. Beberapa lainnya bersih-bersih, beberapa lainnya melayani
pelanggan, dan sisanya berada dibalik konter.
“Permisi,
Apakah saya bisa bertemu Pak Bang?” Tanyaku pada pria dengan tubuh berisi
dibalik meja kasir.
“Ya,
saya sendiri.”
“Oh,
ini Pak, bunga bugunghwa anda.” Ku letakkan bunga itu diatas meja kasir.
“Oh!
kau pasti Min Yoongi!” Pak Bang membuka mulutnya antusias.
“Iya,
Pak.” Aku tersenyum pada Pak Bang. Kalau tebakanku benar, dia pasti orang yang
menyenangkan.
“Wahh...
Aku tidak mengira jika kau akan begitu tampan.” Pak Bang terkekeh. “Kau pasti
menurun ibumu.”
Aku
ikut tertawa mendengar ucapan Pak Bang. Biar ku tebak sekali lagi, dia pasti
begitu dekat dengan ayahku.
Setelahnya
Pak Bang terlihat kebingungan. Tangannya bergantian merogoh saku. “Dimana aku
melatakkan dompetku tadi?” Matanya mengedar ke sekeliling. “ah, mungkin
tertinggal di toilet. Tunggu disini dulu, ya.” Pak Bang beranjak dari duduknya,
dan meninggalkanku.
Sambil
menunggu Pak Bang, mataku mengedar kesekeliling kafe. Memperhatikan dekorasi
kafe yang bernuansa coklat ini. Kemudian beralih ke pemandangan bahagia yang
ditampilkan pengungjung kafe, dan raut semangat yang ditampilkan para karyawan.
Tapi ada satu yang menarik perhatianku. Gadis yang berada dibalik meja konter
itu. Seorang karyawan berbalut pakaian serba hitam dibalik clemek coklatnya.
Jari-jari lentik dengan kuku yang dihitamkan itu menangkup cangkir. Mengangkat
cangkit itu dan mendekatkan pada bibir penuhnya. Setelah menyeruput isi
cangkir, kepala gadis itu terangkat. Matanya menatap kearah jajaran meja
pelanggan. Namun pandangannya kosong.
***
Aku
melangkah memasuki Bangtan Kafe. Pemandangan yang ku lihat masih seperti tiga
hari yang lalu. Karyawan kafe mondar-mondir dan beberapa meja yang terisi oleh
pelanggan. Pak Bang masih setia ditempatnya, dibalik meja kasir. Aku
menghampirinya, dan meletakkan bunga diatas meja kasir.
“Ini
bunga bugunghwa-mu, Pak.” Setelah sesaat aku mengucapkannya, mataku langsung
tertuju pada gadis itu. Gadis serba hitam dibalik meja konter dengan secangkir
minuman. Aku mengikuti apa yang dia tatap. Tapi seperti sebelumnya, dia tidak
menatap apa-apa. Kali ini, lamat-lamat aku memperhatikan wajahnya. Manis.
“Ini,
ambil saja kembaliannya.” Kalimat Pak Bang mengalihkan pandanganku. Ku terima
uang pemberian Pak Bang, lalu keluar dari Kafe.
***
Ini
adalah hari ke-tujuh aku menyandang gelar pemilik florist. Dan hari ke-tiga aku
memasuki Bangtan Kafe. Kali ini aku tidak memperdulikan aktivitas karyawan kafe
maupun pelanggannya. Mataku praktis tertuju pada gadis itu. Masih dengan
pakaian serba hitam, secangkir minuman dan tatapan kosong. Aku tidak tahu
apa-apa tentangnya. Tapi entah kenapa dia begitu menarik perhatianku. Yang
jelas, hal yang aku tahu dari dia hanya, dia karyawan Bangtan Kafe, dan dia
suka warna hitam.
“Apa
yang kau perhatikan, Min Yoongi?” Terpaksa aku berhenti memandangi gadis itu
setelah mendengar ucapan Pak Bang.
Aku
mengulas senyum. “Bukan apa-apa, Pak.” Ku sambar uang yang diletakkan Pak Bang
diatas meja kasir. Kemudian melangkah meninggalkan Kafe.
***
Hari
ke-delapan aku menjadi pemilik florist. Pagi ini aku kembali melangkahkan kaki
menaiki empat anak tangga Bangtan Kafe. Namun kali ini bukan untuk mengantar
bunga. Melainkan hanya sekedar mampir dan memperhatikan gadis itu.
“Hei!
Min Yoongi! Tiga hari terasa cepat sekali ya! Rasanya baru kemarin kau kemari.”
Pak Bang menyapaku dari balik meja kasir sesaat setelah aku memasuki kafe.
“Memang
baru kemarin aku kemari, Pak Bang.”
“Oh!
Benarkah? Lalu, kenapa kau kesini.”
“Hanya
ingin mampir saja, Pak. Aku sungguh penasaran kenapa kafe ini begitu ramai.”
Aku mengulas senyum yang dari lahir memang sudah manis.
Pak
Bang terkekeh. “Baiklah, baiklah. Carilah tempat duduk paling nyaman, euh!”
“Siap!”
Jawabku antusias lalu berjalan menuju sebuah meja kosong dipojokan.
Seorang
pelayan menghampiriku.
“Aku
mau minuman yang dipesan gadis itu.” Kataku menunjuk si gadis setelah pelayan
ini bertanya ‘mau pesan apa’. “Dan tolong agar gadis itu yang mengantarkan
pesananku.” Pelayan ini tersenyum jahil, dia tahu apa maksudku.
Pelayan
pergi. Pandangan mataku kembali sejajar dengan gadis itu.
Dia
mengangkat cangkir, menempelkan bibir cangkir pada bibir penuhnya. Dari sini,
masih terlihat kuku-kukunya dihiasi warna hitam. Pakaiannya dibalik clemek
coklat itu juga masih hitam. Rambutnya yang diurai sedikit berantakan, dan
menurutku itu seksi. Matanya tertutup ketika dia menyeruput isi cangkir. Dia membuka
mata, meletakkan cangkir diatas konter tanpa melepas tangan yang menagkupnya.
Diam, matanya lurus kedepan, dan sesekali berkedip atau menghela nafas. Lalu
mengangkat cangkir itu lagi, meminum isinya, dan begitu seterusnya sampai
pelayan yang tadi menghampiriku menepuk bahunya.
Gadis
itu berjalan kearahku membawa nampan berisi secangkir minuman. Pandangannya
masih saja kosong, sampai-sampai aku takut kalau saja dia tersandung kaki meja.
Dia
tiba dihadapanku tanpa tersandung kaki meja. Meletakkan cangkir dengan asap
yang mengepul diatasnya. Dia berbalik dan melangkah pergi. Setidaknya berniat
melangkah pergi. Karena sebelum dia sempat melangkah lebih dari satu langkah,
tanganku menahan lengannya. “Bisakah kau duduk disini?” Daguku terangkat
sekilas menunjuk kursi didepanku.
Matanya
yang cukup besar dengan iris hitam itu menatapku tajam, sejenak membuatku
meriding. “Emm... bisakah kau melakukannya sebagai servis pelanggan?” Tanyaku
lagi, kali ini dengan lebih memohon.
Dia
mengalihkan tatapan tajam itu. Menarik kursi didepanku, dan duduk. Aku tidak
menyangka dia akan duduk begitu saja.
Ku
angkat cangkir minumanku. Ku tiup beberapa kali, lalu menyeruputnya. Black
coffee. Bertambah satu hal yang aku tahu dari gadis ini. Dia karyawan Bangtan
Kafe, dia suka warna hitam, dan dia suka black coffee.
“Boleh
ku tahu siapa namamu?” Tanyaku, tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini untuk
mengetahui lebih banyak tentangnya.
“Daiji.”
(bunga aster).
“Nama
yang cantik.”
“Terimakasih.”
Hal
yang aku tahu tentang gadis ini; Dia karyawan Bangtan Kafe, dia suka warna
hitam, suka black coffee, dan dia bernama Daiji.
***
Silau
matahari menembus kaca, menabrak kulit lenganku, memberi sensasi hangat. Aku
duduk dikursi kayu, sedangkan kedua tanganku berkutat diatas meja kayu yang
penuh dengan plastik dan bunga-bunga. Lonceng berdenting ketika pintu terbuka,
mengalihkan perhatianku. Seseorang dengan pakaian serba hitam dantang. Daiji.
Kemarin
kami berbincang sedikit banyak. Ketika dia bilang akan pergi floristku, ku
pikir hanya basa-basi. Ternyata dia benar-benar datang.
“Aku
mencari Daffodil, ada?”
“Ada,
tentu saja.” Aku berdiri, berjalan menuju rak berisi bunga-bunga segar yang terangkai
rapi. Ku ambil seikat bunga Daffodil kuning, dan ku berikan padanya.
“Berapa?”
“Tidak
usah.”
Dia
tersenyum. Ini pertama kalinya aku melihat dia tersenyum. Manis. “Terimakasih.”
“Apa
itu untuk seseorang?”
“Ya,
pacarku.” Sial! Bisakah aku memintanya membayar bunga itu, sekarang?
Hal
yang aku tahu tentang gadis ini. Dia karyawan Bangtan Kafe, dia suka warna
hitam, dia suka black coffee, dia bernama Daiji, dan dia sudah punya pacar.
“Boleh aku meminta bantuanmu?” Tanyanya, tanpa
sadar jika dia baru saja membuatku kecewa.
“Apa?”
“Bisakah
kau mengantarku kerumah pacarku?”
“Bukankah
nanti pacarmu bisa salah paham?”
“Tidak,
aku bisa menjelaskannya. Lagipula, aku ingin mengenalkanmu padanya.”
“Baiklah.”
Maksudku, untuk apa? Tidakkah kau tahu jika ketertarikanku padamu berkurang 85%
ketika ku tahu kau sudah punya pacar?
***
Aku
dan Deiji berjalan diatas jalan setapak diantara rerumputan hijau. Langkah kami
berat karena berlajan menanjak. Mungkin rumah pacarnya ada dibalik bukit atau
bagaimana, aku tidak begitu perduli. Aku lebih mengkhawatirkan motorku yang ku
parkir ditepi jalan raya. Tidak ada suara diantara kami, kecuali suara sepatu
yang bertemu dengan tanah, atau suara angin yang berhembus mengombang-ambingkan
rambut panjang Deiji.
“Apa
kau libur hari ini?” Tanyaku memecah keheningan.
“Tidak.”
“Cuti?”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Aku
hanya, keluar sebentar.”
“Kau
tidak dimarahi?”
“Siapa
yang mau marah pada pemilik kafe?”
Baiklah,
hal yang aku tahu dari gadis ini; Dia pemilik Bangtan Kafe, dia suka warna
hitam, suka black coffee, bernama Deiji, dan sudah punya pacar.
Deiji
berhenti ketika kami berada dibawah pohon besar. Aku menoleh kesekeliling.
Sekarang, kami berada dipuncak bukit. Deiji melanjutkan langkahnya, tapi tidak
searah dengan jalan setapak. Dia berbelok, melewati pohon besar, dan berhenti
didepan sebuah gundukan tanah. Otomatis aku mengikutinya, berdiri disampingnya.
“Jiyong-a...
Kali ini, aku bersama seseorang.” Tunggu, apa dia berbicara kepada gundukan
tanah itu? “Ah, tidak, tidak. Aku tidak berselingkuh dengannya.” Dia menoleh
kearahku. “Katakan, Yoongi. Katakan pada Jiyong jika kita tidak berselingkuh!”
“Kami
tidak berselingkuh, Ji... Jiyong-shi.” Apa yang baru saja kulakukan? Kenapa aku
juga berbicara pada gundukan tanah ini?
“Kau
dengar sendiri, kan.” Deiji menghela nafas. Bersamaan dengan angin kencang yang
berhembus. Hening. Sejenak bulu kudukku meremang. “Setiap hari aku kesini, Tapi
kau terus saja mengacuhkanku. Kau tahu aku sudah mulai bosan.” Suara Deiji
tercekat diakhir kalimat. Bahunya terguncang. Dia menangis. “Lidahku rasanya
sudah mati rasa karena setiap pagi meminum Black coffee. Aku benci Black coffee,
tapi aku terus meminumnya karena kau suka.”
“Deiji...”
Bahu
Deiji kembali terguncang. Tapi kali ini dia tertawa. Dia berhasil membuatku
merinding. “Kau dengar, Jiyong? Dia memanggilku Deiji. Sama sepertimu, sekarang
aku menggunakan nama palsu ketika berkenalan dengan orang baru. Ternyata itu
menyenangkan.” Dia tertawa kecil, dengan pipi yang masih basah oleh air mata.
“Kenapa Deiji (Bunga Aster)? Karena
dia melambangkan kesetiaan, sama halnya rasa setiaku padamu.”
Dia
meletakkan seikat Bunga Daffodil diatas makam Jiyong. Memberi tambahan sedikit
warna pada gundukan tanah yang mulai ditumbuhi rumput itu. “Tapi, sepertinya
sekarang aku tidak boleh menggunakan nama itu lagi. Lihat, aku membawakanmu
Daffodil. Kau tahu artinya, kan? Terlahir kembali, semangat baru.” Deiji
menghela nafas. Pandangannya lurus kedepan, namun kali ini berarti. “Semangat
hidupku sudah mati ketika kau pindah kesini. Aku tidak mau terus menerus hidup
sia-sia. Aku ingin terlahir kembali.” Setitik air mata kembali menetes
membasahi pipinya. “Sekarang, mari kita akhiri.”
Hal
yang aku tahu tentang gadis ini; dia pemilik Bangtan Kafe, dia berpakaian hitam
setiap hari karena setiap hari pergi ke makam, dia benci black coffee, namanya
bukan Deiji, dan dia baru saja putus dengan pacarnya.
-FIN-
Youth Series 3 is here!
Ps: Lotus lagi pusing mencoba memahami teori Love Yourself. Buat kalian yang pusing juga, mending refressing dulu baca-baca Youth Series. Youth Series ini juga ada teorinya, tapi ga serumit dan seindah teorinya Bighit lah. Ini masih Agustus guys, tapi kita udah sarapan teori tiap pagi. Septembernya kita mampus.
Youth Series 3 is here!
Ps: Lotus lagi pusing mencoba memahami teori Love Yourself. Buat kalian yang pusing juga, mending refressing dulu baca-baca Youth Series. Youth Series ini juga ada teorinya, tapi ga serumit dan seindah teorinya Bighit lah. Ini masih Agustus guys, tapi kita udah sarapan teori tiap pagi. Septembernya kita mampus.
0 komentar:
Posting Komentar