Chocolate and Coffee
Cast :
·
Park Junghwa EXID
·
Kim Seokjin BTS
·
Min Yoongi BTS
·
Seo Hyerin EXID
- Park Junghyeon OC
Author POV
Gadis itu masih mengenakan seragam
SMP dengan satu cone ice cream coklat di tangannya, dia berbagi tempat duduk
dengan seorang pria yang juga memegang ice cream coklat ditangannya. Pria itu
juga masih mengenakan seragam lengkap, namun berbeda dengan si gadis, pria ini
mengenakan seragam SMA. Matahari mulai terik, melelehkan perlahan dua ice cream
coklat yang dipegang kedua anak sekolah yang sedang bolos itu. Seorang ibu
memanggil anak-anak yang sedang berlarian dan berteriak-teriak dibelakang
mereka.
“Seokjin, Oppa,” Gadis itu meminta
perhatian orang disampingnya.
“Hmm..” Pria itu tidak sepenuhnya
memberikan perhatian kepada gadis disampingnya. Ia tetap pada ice cream coklat yang
tinggal setengah.
“Taman disini ramai, aku tidak mau
bolos ke taman ini lagi.” Gadis itu menggigit bagian ice cream terakhir.
“Kalau begitu besok-besok kita
bolos ke taman makam pahlawan, ya.” (jangan protes pliss) Pria itu memasukkan
seperempat bagian ice cream yang masih tersisa kedalam mulutnya. Membiarkan
mulut mungil-nya penuh oleh ice cream.
“Kajja Oppa! Kita cari Onnie.
Kenapa membeli kopi saja lama sekali?” Gadis itu berdiri dan berjalan
meninggalkan pria yang masih duduk dengan mulut penuh ice cream.
***
Seokjin POV
Aku berlari menyusul Jungwha dengan
mulut penuh ice cream. Tepat saat aku menelan habis ice cream dimulutku, aku berada
disamping Junghwa. Beberapa orang memandangi kami, mungkin mereka berpikir jika
aku ini anak SMA nakal yang sedang mengajak bolos pacarku yang masih SMP. Ah,
apa kalian juga berpikir begitu? Tidak, sebenarnya gadis imut di sampingku ini
adik pacarku. Kami selalu berangkat sekolah bertiga setiap hari, Karena rumah
kami dekat dan arah sekolah kami sama. Dan hari ini, kami terlambat jadi kami
bolos saja sekalian. Toh, sama-sama mendapat hukuman.
Kami tiba di persimpangan jalan. Banyak orang berkerumul disana. Beberapa orang menutup mulut mereka, beberapa lagi bekata, “Ommo! Ini parah sekali?”, “apa dia masih hidup?”, “panggil 911!”, dan beberapa kata-kata lain yang tidak bisa kutangkap.
“Oppa, apa itu kecelakaan?” Junghwa
bertanya padaku, meskipun jawabannya sudah jelas.
“Apa itu terlihat seperti konser
bagimu?” Aku terkekeh setelah menjawab pertanyaan konyol Junghwa.
“Aku takut Oppa, ayo lewat sana
saja.” Junghwa menunjuk gang kecil yang tidak jauh dari tempat kami berdiri.
Sebelum kakiku sempat melangkah, aku mengentikannya saat itu juga karena suara beberapa orang di kerumunan. “Apa ini tabrak lari?”, “Aigoo, dia masih SMA.”, “Apa dia bolos?” “Dia baru saja membeli kopi dari tempat Abboji-ku.” Aku menoleh ke arah Junghwa. Junghwa melakukan hal yang sama. Sepersekian detik berikutnya, aku berlari menuju kerumunan. Suara-suara orang dikerumunan itu makin jelas. Aku menyibak beberapa orang agar bisa melihat si objek. Dia seorang gadis, dia tengkurap, dan memakai seragam yang sama denganku. Darah segar megalir di aspal, rambut sepundaknya sudah lepek bercampur darah. Sebenarnya, aku sudah bisa menebak dengan mudah siapa gadis penuh darah di depanku ini, tapi aku meyakinkan diriku sendiri bahwa tebakanku salah.
Aku mendengar suara ambulance mendekat. Beberapa orang menepi memberi jalan petugas. Aku juga menepi, tapi gadis penuh darah itu masih dalam jangkauan mataku. “Oppa,” Suara Junghwa tercekat, sudah dapat dipastikan dia sedang menangis sekarang. “apa dia temanmu? Kalian memakai seragam yang sama.” Beberapa orang memberiku pertanyaan yang sama sekali tidak ku jawab. Beberapa petugas membalik tubuh gadis penuh darah. Tubuhnya terbalik. Wajahnya tidak terlihat seperti wajah lagi, lehernya mengalirkan darah segar. Pandanganku menurun ke dadanya, sebuah name tag masih berada di tempatnya. Sudah terkoyak dan terdapat beberapa tetes darah, tapi aku dapat membacanya dengan jelas –Park Jung Hyeon. Seketika dadaku sesak, air mata mengalir tidak terkendali dari mataku, perlahan pertanyaan-pertanyaan orang-orang tidak terdengar lagi, begitupun suara ambulance, dan Junghwa tidak terdengar terisak atau pun memanggilku, mungkin dia sudah pingsan. Senyap. Gelap. Dan aku tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya.
***
Junghwa POV
Jarum panjang arlogi hitam di pergelangan
tanganku menunjuk angka sembilan dan jarum pendeknya menunjuk angka enam. Lima
belas menit lagi jika aku tidak tiba di sekolah, dapat dipastikan besok pagi
kaki ku akan bengkak karena Bang-Sem kejam pasti menghukumku berjalan jongkok
dari gerbang sampai kelas.
Aku berlari melewati gang rumahku yang sudah cukup ramai. Berbelok dari gang satu ke gang yang lain. Melangkahkan kakiku secepat yang aku bisa. Tidak perduli ketiak ku yang sudah muali basah meskipun masih pagi. Membuat ku mengumpat karena sudah termakan iklan ‘Pakai deodorant ini! ketiak kering sepanjang hari!’. Oh, Shit!
“Hya! Junghwa-ya!” Akhirnya, yang ditunggu-tunggu datang juga.
Seokjin Oppa menghentikan sepedanya
didepanku. Aku melompat kebagian belakang sepedanya. Berdiri diantara ban
belakang sepeda dan mendaratkan tanganku di pundaknya. Hanya dalam hitungan
detik sepeda Seokjin Oppa sudah melaju dengan kecepatan penuh. Sebuah rutinitas
pagi yang menyenangkan.
Seokjin Oppa sudah seperti kakak ku sendiri. Sejak tiga tahun lalu. Sejak kami menyaksikan bersama-sama didepan mata kami, kakakku sekaligus pacarnya tergeletak tak bernyawa. Dia selalu datang kapanpun aku memintanya, dia selalu memberikan bantuan apapun yang aku butuhkan, menggantikan posisi kakakku yang sebenarnya tidak pernah tergantikan. Dia menyebalkan. Bahkan membuatku muak dengan segala peraturan sepihak yang dia buat. Tapi maksudnya baik. Tapi dia terlalu berlebihan. Tapi dia orang yang menyenangkan. Ah, sudahlah.
Sepeda
Seokjin Oppa berhenti tepat di depan gerbang sekolahku. Ku lirik sekali lagi
arlogi di tanganku. Kurang lima menit lagi bel masuk. Beberapa anak yang trauma
atas kekejaman Bang-Sem berlarian memasuki gerbang. Aku pun yang menjadi bagian
dari mereka mengikuti apa yang mereka lakukan. Hampir aku memasuki gerbang,
tapi aku berbalik menghampiri Seokjin Oppa yang masih terengah-engah.
“We?!”
Tanyanya sambil mengangkat dagu.
“Emm..
Oppa kau tidak perlu menjemputku nanti. Omma bilang, dia akan menjemputku.”
“Tumben.”
“Dia
bilang akan mengenalkanku dengan pacar barunya.”
“Oh,
Baiklah.”
Segera
aku berbalik dan berlari memasuki gerbang. Membaur dengan anak-anak yang
berseragam sama denganku. “Mana Namchin barumu? Kasihan Seokjin Oppa, dia harus
mengantar jemputmu setiap hari.” Seorang gadis dengan rambut kuncir kuda dan rok
super pendek yang bahkan tidak aku ingat siapa namanya meledekku saat aku
berlari disampingnya.
“Ah,
lihat saja nanti dia akan menjeputku dengan Lamborghini.” Aku tertawa lalu
berbelok kearah berlawanan dengan gadis kuncir kuda itu. Dan sekarang aku sudah
membaur lagi dengan segerombolan anak laki-laki yang juga mengalami trauma
berat atas kekejaman Bang-Sem.
***
Langit sudah gelap. Biasanya aku
sudah menonton drama favoritku dengan Seokjin Oppa di jam-jam ini. Tapi
sekarang aku duduk di bangku mobil masih dengan seragam lengkap. Seorang pria
berkulit pucat membuka pintu mobil untukku. Aku keluar dari mobil tanpa
melepaskan pandangan mataku dari pria yang aku pamerkan pada gadis kuncir kuda
tadi pagi. Dia terlalu tampan untuk membuat mataku lelah memandang wajahnya.
Dia menggenggam tanganku setelah aku keluar dari mobil. Membiarkan mobil biru
itu berlalu meninggalkan kami. Ah, apa kalian berpikir jika aku baru saja
keluar dari Lamborghini? Bukan, itu hanya taxi.
Pria tampanku ini bukan anak konglomerat atau pewaris tahta seperti di drama-drama. Dia hanya pria yang sederhana. Dia terliahat seperti pemalas dan kasar. Tapi sebenarnya dia pekerja keras dan manis. Banyak dari sikapnya yang mengingatkanku pada mendiang kakak-ku. Seperti sore tadi setelah menjemputku dari sekolah, ia membelikanku coklat panas dan kemudian mencari kopi untuk dirinya sendiri.
Kami berjalan diantara kerumunan orang. Tidak ada satu katapun yang kami ucapkan sejak kami turun dari taxi. Bukan karena dia gagu. Tapi kami hanya membiarkan suara-suara disekitar kami menjadi backsound kebersamaan kami. Merekam kuat-kuat setiap moment didalam memori kami masing-masing. Hanya satu kata yang aku ucapkan, dan itupun didalam hati. Nyaman.
***
Seokjin POV
Sekarang aku berjalan diantara
kerumunan orang yang bergerak cepat ditepi jalan raya yang penuh dengan kendaraan berlalu lalang.
Lampu-lampu jalan dan gedung disekitarku berbinar-binar seolah kegelapan malam
tidak pernah datang. Aku melihat HP-ku. Mencoba memastikan apakah Junghwa sudah
membalas pesanku. Aku mendengus kesal. Jangankan dibalas, dibaca saja tidak.
Apa yang sebenarnya dia lakukan bersama pacar baru Omma-nya? Biasanya dia tidak
akan betah berlama-lama dengan pacar baru Omma-nya. Ah, mungkin pacar baru
Ommanya cukup kaya, jadi dia masih diajak shoping sekarang. Aku yakin setelah
dia tiba dirumah, dia akan mengirim pesan padaku agar aku segera datang
kerumahnya untuk mendengar setiap kejelekan pacar baru Omma-nya.
Aku melihat isi tas kecil yang sekarang aku jinjing. Memastikan apakah empar bar coklat yang tadi aku beli masih ada disana. Tentu saja masih, aku tidak pernah mengeluarkannya sama sekali sejak ahjumma penjual coklat memasukkannya kedalam tas kecil ini. Tindakan bodoh yang selalu aku lakukan tanpa sadar.
Aku sengaja membeli coklat ini untuk menyampaikan perasaanku pada Junghwa. Dia baru saja putus dengan teman sekolahnya seminggu lalu. Jadi aku rasa sekarang adalah saat yang tepat. Saat nanti dia menceritakan tentang kejelakan pacar baru Omma-nya, aku akan menghiburnya lalu mengatakan bahwa aku mencintainya, dan maukah dia menjadi pacarku? Kalau iya, dia harus memakan coklat yang aku berikan. Aku yakin dia tidak akan menolakku. Aku yakin itu, karena Junghwa tidak bisa menolak coklat. Lagi pula aku juga terlalu tampan untuk ditolak, kan?
Sejenak setelah aku membayangkan bagaimana Junghwa akan menerima cintaku, aku merasa ada sesuatu yang ganjil. Seorang gadis masih dengan seragam lengkap berjalan didepanku. Tangannya digandeng oleh seorang pria berkaus hitam yang dilihat dari caranya berjalan saja, dapat dipastikan dia bukan pria baik-baik. mereka berjalan lebih lambat dari yang lain. Meskipun aku tidak melihat mereka dari depan, aku tahu mereka sedang berbahagia. Sial! Junghwa pasti membohongiku!
***
Junghwa POV
“Hya! Park JungHwa!” Seseorang
menarik lenganku dari belakang secara tiba-tiba. Dari suaranya aku sudah tahu
siapa orang yang melakukannya. Sial! Firasatku sudah tidak enak sekarang.
“Seokjin Oppa! Kau disini? Bukankah
kau tidak ada kuliah hari ini?” Aku mengembangkan senyum yang sangat jelas
terlihat dibuat-buat.
“Apa Omma-mu sekarang menyukai
berondong?” Pertanyaan sinis. Seperti biasanya.
“Ani, dia.. Em.. Kenalkan Oppa, dia
Yoongi Oppa, namchin-ku.” Yoongi Oppa membungkuk memberi hormat, tapi yang
diberi hormat sama sekali tidak menggubris.
“Kenapa kau harus berbohong
padaku?” Nada suara Seokjin Oppa kini sedikit lebih tinggi.
“Karena kau pasti melarangku.”
Secara tidak sadar aku juga ikut meninggikan suraku.
“Itu semua demi kebaikanmu!”
Sekarang nada suaranya benar-benar tinggi.
“Kau berlebihan Oppa! Apa sekarang
aku terluka?! Apa aku sekarang tidak terlihat baik-baik saja?! Apa anggota
tubuhku akan cacat jika aku berpacaran?!” Ah, sial! Aku benar-benar kesal pada
kunyuk ini.
“Setidaknya berpacaranlah dengan anak
baik-baik!” Ha?! Apa dia sadar saat mengucapkan itu?
“Apa?! Apa kau pikir Yoongi Oppa
bukan orang baik-baik?! Apa karena dia tidak seusia denganku dia menjadi tidak
baik?! ah, ani..” aku tersenyum sinis. “Kau juga menganggap mantan-mantanku
bukan orang baik. Apakah aku juga harus berpacaran denganmu, Oppa?!” Ah! Aku
benar-benar tidak punya muka sekarang. Entah bagaimana ekspresi Yoongi Oppa
sekarang, aku tidak sanggup membayangkannya. Apa yang kunyuk ini pikirkan? Bisa-bisanya
dia bicara seperti itu didepan Yoongi Oppa? Apa dia pikir aku tidak akan malu?
“Ani.. Aku hanya menepati janjiku
pada Junghyeon untuk menjagamu.” Entah mengapa aku merasa nada suara Seokjin
Oppa tidak setinggi sebelumnya.
“Hah..” aku mendengus dan tersenyum
sinis. “ Itu hanya beberapa menit, Oppa. saat Onnie pergi mancari kopi!”
“Tapi sampai sekarang Junhyeon
belum kembali setelah dia pamit membeli kopi.” Nada kecewa terdengar jelas dari
suara Seokjin Oppa. Bahkan aku melihat kilauan air yang membendung dimatanya.
Satu, dua, tiga. Tess.. satu tetes air mata berhasil lolos. Ia menggigit bibir
bawahnya. Mencoba untuk mencegah airmatanya terus menetes. Tapi hasilnya nihil.
Tetes-tetes air mata berikutnya terus mengalir. Bahkan desertai dengan isakan
yang tertahan.
“Sudahlah Oppa, lupakan Onnie. Dia
sudah meninggal. Carilah pacar baru dan jangan menggangguku!” aku berbalik. Aku
sudah tidak tahan membendung air mata lagi. Aku berjalan kearah yang sama
sekali tidak aku ketahui. Yoongi Oppa mengikutiku dari belakang. Aku terus
barjalan tanpa menoleh diantara isakan tangisku. Terlalu sulit bagi kami untuk
tidak cengeng saat mengingat kematian tragis kakakku.
***
Seokjin POV
“Sudahlah Oppa, lupakan Onnie. Dia
sudah meninggal. Carilah pacar baru dan jangan menggangguku!” Junghwa berbalik.
Pacarnya memberi hormat padaku lalu mengikutinya. Tinggal aku sendiri. Terisak.
Dan terlihat memalukan dengan air mata yang terus menetes. Aku mencoba untuk tidak terlihat lemah. Tapi
Ini terlalu menyakitkan. Junghwa telah mengorek luka lamaku yang cukup dalam. Belum
puas dengan itu, dia menindih luka itu dengan luka yang baru. Tidak berdarah
memang, tapi sangat sakit.
***
Aku menutup stoples gula lalu
melirik kearah gelas diatas counter dapur. Aku pikir aku memasukkan dua sendok
gula, kenapa dua sendok gula saja gelas ini sudah setengah penuh? Gelasnya yang
kekecilan apa sendoknya yang kebesaran, ya? Aku berlajut berjalan menuju
kulkas. Mengambil botol air dingin. Membawanya menuju tempat gelas yang
setengah penuh dengan gula. Menuangkan air es kedalamnya, sehingga gelas itu
menjadi penuh. Tanganku kemudian meraih kotak the celup. Memasukkan teh celup
kedalam gelas itu dan membawanya menuju balkon. Salju turun. Terasa cukup
dingin karena aku hanya memakai pakaian tidur. Aku menyeruput isi gelas yang
berada ditangan kiriku. Terserah kalian mau menyebut ini minuman macam apa.
Yang jelas tenggorokanku terasa membeku metelah meneguk minuman ini.
Aku menoleh kearah seseorang yang entah sejak kapan berada disampingku. “Hyaaaa!!!” aku kaget setengah mati melihat seseorang dengan wajah putih tembok dan rambut acak-acakan memelototiku. “Hhhh..” aku mendengus dan kembali menoleh kearah salju yang turun setelah menyadari bahwa itu adalah Omma yang sedang memakai masker. Merasa aku abaikan, Omma memukul lenganku. Mau tidak mau aku menoleh lagi kearahnya. Ia menggerak gerak-kan tanggannya berusaha menyampaikan sesuatu dengan bahasa tubuh. Tapi hanya dia sendiri dan Tuhan yang tau apa yang dia katakan. Aku meoleh lagi kearah salju turun . Tidak menggubris Omma yang sekarang mulai melenggok-lenggokkan tubuhnya.
“Hyaa!!! Kau itu sangat tampan! Jangan sia-sia kan hidupmu hanya karena ditolak oleh anak SMA!! Berpakaianlah yang rapi, sisir rambutmu, dan makan dan minumlah dengan benar!!! Apa?! Apa itu yang kau minum ha?! Setidaknya minumlah WINE agar terlihat sedikit lebih elit!! Jika kau terus-terusan patah hati seperti ini! Aku akan mencoretmu dari daftar keluarga!! Dan A..” Kicauan Omma terpotong karena mendengar bel rumah berbunyi. Ia melepas kasar maskernya yang sudah terkelupas dan berjalan menuju pintu depan.
Belum genap semenit Omma pergi, kini suara langkah kakinya yang berlarian menuju arahku sudah terdengar. “Hya, hya, hya, Seokjin-a, kau harus cepat ganti baju dan berdandan yang tampan.” Katanya setelah berada dibelakangku.
Aku sama sekali tidak menggubris ucapan Omma. “Junghwa datang kesini.”
“HAA?!” Sontak aku berlari menuju
kamar untuk mencuci muka, memakai krim, menyisir rambut, berganti pakaian,
memakai parfum. Oh! Heol! Banyak sekali yang harus ku lakukan!!
***
Aku duduk di lobi sebuah sanggar
dance. Tidak lama setelah aku mendudukkan pantatku di kursi lobi, seseorang
yang aku tunggu sudah datang. Dia bergandengan dengan seorang gadis imut
berkulit pucat dengan kaus putih. “Junghwa-ya!” aku malambai kearahnya, tapi
yang menoleh justru gadis yang bergandengan dengannya.
“Seokjin Oppa!!” Apa dia barusaja
menyapaku? Apa aku dan dia saling mengenal? Aku rasa tidak.
Mendengar
orang yang bergandengan dengannya menyapaku, Junghwa ikut menoleh kearahku.
Kemudian dia berlari kecil kearahku bersama gadis yang digandengnya.
“Seokjin
Oppa, aku pergi mencari coklat hangat sebentar ya, aku titip Hyerin Onnie. Jaga
dia baik-baik!” Junghwa pergi meninggalkanku dan gadis imut ini. Aku terus
memperhatikannya hingga keluar dari gedung. Tembok depan lobi sanggar ini
terbuat dari kaca, membatku dapat melihat Junghwa yang berjalan menuju persimpangan jalan. Kemudian
berdiri ditepi jalan untuk menyebrang. Dari sini, dia terlihat begitu mungil
dengan jaket tebal berbulu. Apalagi salju putih disekiratnya membuatnya seperti setitik noda indah pada salju yang putih. Bulu-bulu jaketnya sedikit bergoyang bersama ujung rambutnya yang tergerai karena
angin dingin yang menerpa.
“Seokjin
Oppa!” Aku tersentak dan seketika mengalihkan pandanganku dari Junghwa.
“Ya?
Maaf, tapi dari mana kau mengenalku?”
“Ah,
Kau sudah cukup populer disini Seokjin Oppa. Boleh aku duduk?” aku tidak heran
mendengar jawaban dari gadis imut ini. Aku juga yakin jika aku cukup populer di
kalangan teman SMA Junghwa. Kenapa? Lihat saja wajahku. Bukankah aku begitu
tampan?
“Tentu
saja. Duduklah. Siapa namamu?”
“Hyerin.
Namaku Seo Hyerin.”
BRAAAKKKK!!!!
Aku
menoleh kearah suara benturan keras itu. Diluar sana, sumber suara tepat berada
dimana Junghwa tadi berdiri. Tapi kini Junghwa tidak ada disana. Posisinya
digantikan oleh sebuah mobil Pick-up biru.
Deg!
Rasa takut tiba-tiba menyergapku. Aku barlari menuju tempat tadi junghwa
berdiri. Jarak yang hanya 5 meter terasa seperti 5 kilo meter bagiku. Seseorang
mengikutiku dari belakang. Mungkin Hyerin.
Beberapa orang juga berlarian menuju tempat yang sama denganku. Tapi tidak
ada yang sama takutnya denganku.
Aku tiba
ditempat yang aku tuju dengan perasaan takut yang semakin merambat dalam
diriku. Beberapa orang sudah berkerumun disana. Darah. Aku melihat darah
mengalir di aspal dan bercampur dengan salju dingin. Seorang gadis tergeletak diantara
darah yang mengalir itu. Kejadian tiga tahun lalu terulang kembali. Tiba-tiba
suara-suara disekitarku senyap. Dadaku sesak. Air mataku mengalir tanpa
seizinku. Kemudian gelap. Dan aku tidak tahu apa yang selanjutnya terjadi. Yang
aku tahu, sekali lagi dalam hidupku, aku
menyaksikan didepan mataku, gadis yang aku cintai tergeletak tak berdaya di aspal
dan berlumuran darah.
***
Epilog
Author POV
Seorang
wanita muda memotong wortel diatas pantry dapur. Rambut panjangnya yang diurai
sedikit mengganggu kegiatannya. Tapi ia mengabaikan itu. Kemudian ia dengan
lincah menjalankan kursi rodanya menuju lemari es untuk mengambil beberapa
sayuran dan membawanya kembali ke pantry untuk dipotong.
Seorang
pria dengan kaus putih lusuh dan rambut hitam yang acak-acakan berjalan menuju wanita
itu sambil menguap. Ia menyisipkan rambut si wanita ditelinganya, kemudian merangkul
wanitanya dari belakang. Si wanita hanya tersenyum mendapati perlakuan semacam
itu dari suaminya.
Beberapa
saat kemudian terdengar suara pintu utama rumah minimalis ini terbuka disertai
dengan suara langkah kaki seseorang. Hanya dalam hitungan detik seorang pria
dengan kemeja putih yang sangat serasi dengan bahunya yang lebar berada dalam
satu ruangan dengan sepasang suami istri itu. Ia meletakkan sebuah kardus
berukuran sedang diatas pantry dapur.
“Apa
itu Seokjin Oppa?” Tanya si wanita.
“Jeruk.
Hahh.. kau tahu aku membawaya kesini dengan darah, keringat, dan air mataku.”
Yang pria itu maksudkan adalah ia membawa jeruk itu dengan susah payah dari rumahnya yang hanya
berada tepat di sebelah rumah sepasang suami istri ini.
“Kau
tetap saja bodoh hyung, seharusnya kau membawanya dengan tanganmu.” Si pria pemilik
rumah menjawab asal pernyataan pria ini dengan ekspresi datar di wajah putih
pucatnya.
“Hya!
Yonnggi-ya! Ambilkan aku air!” tidak menggubris jawaban dari si pemilik rumah,
pria tampan ini malah memerintah pemilik rumah seenaknya. Tapi, dengan segera
si pria pemilik rumah itu menurutinya.
***
Seorang wanita dengan wajah imut itu mengusap keringat
yang mengalir didahinya. Ia mengambil alat pembersih debu kemudian menunduk
untuk membersihkan kolong tempat tidur. Baru bebera saat ia membersihkan kolong
tempat tidur, sesuatu tersangkut pada alat pembersih debu. Ia menarik alat itu hingga terlihat
selembar kertas yang dilipat layaknya surat. Mungkin milik suaminya, pikirnya. Ia
mematikan alat pembersih debu dan mengambil kertas itu. Kemudian mebuka
lipatannya. Dan membaca setiap kata yang tertulis diatasnya.
To :
Park Junghwa
Junghwa-ya,
kini semua sudah berakhir. Aku tidak bisa menjadikan janjiku pada Junghyeon
sebagai alasanku lagi. Karena sudah ada yang menjagamu sekarang. Dan aku juga
harus menjaga yang lain.
Ah, aku
malu mengakuinya. Asal kau tahu Junghwa-ya, aku menangis saat menulis ini. Apa kau
pikir karena pada akhirnya aku tidak bisa memilikimu? Tidak, Junghwa-ya. Happy ending tidak
melulu tentang hidup berdua, dan bahagia selamanya. Tapi tentang bagaimana mereka
tetap hidup berdampingan dan saling menjaga satu sama lain, agar tetap berada
pada kebahagiaan. Menurutku, itulah happy ending yang sebenarnya.
Kim Seokjin
-END-
Ps : FF ini jadi saksi bisu gimana stressnya Lotus dalam menghadapi UTK dan cobaan-cobaan lainnya yang datang bersamaan.
Baca juga guys
Who Am I?
Baca juga guys
Who Am I?
Wah debak, lotus bisa aja buat baper, bikinin skuelnya donk 😊😄
BalasHapuskalo baper mah makan. ehe. btw makasih. yang skuel ditunggu aja. tapi ceritanya lain :v
BalasHapus